Rabu, 02 Januari 2013
In:
Hukum
BOB ARNO
11.
Asyik
aja coy!
Namanya
Bob Arno. Profesinya sebagai pengacara. Dulunya ia sempat mengenayam pendidikan
master di Utrech-Belanda. Setelah kembali ke Indonesia ia memilih hidup di
perkampungan kecil di Jakarta dan hidup seadanya.
Hidup
pada sebuah kantor lawyer yang tidak begitu ternama, ia pun mencoba mengajukan
diri sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi yang tidak terkenal sama sekali. Hanya
untuk mengaplikasikan ilmunya sebagai master hukum dan sedikit niatan untuk
menambah saku harian.
Sebenarnya
beberapa firma kantor pengacara besar sudah banyak mengincarnya sebagai rekan
kerja atau patnernya kemudian menyulap kantornya yang sekarang menyatu dengan
rumahnya dengan sebuah kantor megah mewah dan sebuah apartemen di kawasan elit
dengan segala fasilitas orang-orang berduit.
Bukan
Bob Arno namanya kalau menerima semua pemberian dengan tangan terbuka. Semua fasilitas
yang menggiurkan itu ia TOLAK tanpa penyesalan. Ia memilih hidup sederhana,
sedikit anti kemewahan, asalkan ia dapat bangun pagi, lari pagi, sarapan dengan
nasi uduk sambel teri, secangkir kopi yang asapnya masih mengepul dan juga
rokok kretek yang ia linting sendiri. Itulah indahnya hidup baginya.
Kopi
yang membangunkan semangat perjuangan hidupnya, asap rokok yang menemaninya
menyusuri ruang-ruang inspirasi tak tembus oleh zaman. Sedang nasi uduk dan
sambel teri, tentu akan membuat perutnya yang lapar dapat segera terisi.
Meskipun
hidup hanya dengan seadanya dan bekerja dengan prinsip ikhlas lilahi ta’ala,
rupanya kantor pengacara yang ia dirikan atas namanya sendiri tanpa terasa
telah dianugerahi 10 anak buah yang solid meskipun selama bekerja mereka tidak
pernah digajih. Eits jangan salah,
inilah uniknya pengacara kita. Meskipun pada dasarnya ia bersikap irit, tetapi ia
tidak pernah bersikap pelit. Pegawai mereka semua sejahtera, bahkan office
boynya kini nyaris beristeri dua karena saking makmurnya. Hahahaha.
Duit
darimana itu ya?? Tenang saja, bukan hasil korupsi atau bukan hasil memenjara
toko non pribumi. Kantornya tidak mau menerima kasus-kasus “kotor” atau sedikit
agak abu-abu. Mereka hanya ingin mengurus kasus yang bersih, sebab mereka
sangat takut bila mereka mati mereka harus menanggung dosa akibat pembelaan
mereka yang cetar-cetar membabi buta.
Uang
itu berasal dari kasus-kasus yang ada. Yang bayarannya seikhlasnya. Karena saking
seikhlasnya, biasanya klien akan memasukkan uang ke dalam kotak sebagaimana
orang-orang berta’ziyah kepada orang yang meninggal dunia.
Nah
kotak itu nantinya akan dibuka. Dari tahun ke tahun kotak ajaib yang tidak
pernah hilang atau dipindahkan. Kotak ajaib itu memiliki jumlah yang
menakjubkan ketika dibuka setiap bulannya.
Uang-uang itu akan dishare kepada semua anak
buahnya yang bekerja secara professional. Termasuk dirinya. Bila ia merasa
tidak bekerja, ia tidak akan mau menerima gajih meski hanya semangkok mie ayam.
Prinsipnya,
namanya menolong orang harus ikhlas. Apalagi terhadap orang-orang yang
benar-benar membutuhkan bantuan hukum. Jangan pernah berfikir tentang imbalan.
Imbalan itu dari Tuhan. Selama masih membela, belalah hak mereka agar hukum ini
dapat berjalan sesuai dengan relnya. Agar tidak kualat nantinya.
Memang
siapa sih yang akan member rejeki? Apakah klien? Tentu saja Tuhan. Mintalah
keridoan pada Tuhan. Bila Tuhan sudah meridhoi atas usaha dan jerih payah kita,
maka rejeki yang masih mengumpul di langit, akan segera turun. Rejeki yang
masih ada di bumi, akan segera tumbuh. Rejeki yang masih terhalang, akan segera
datang. Maka dari itu Tuhan memberikan kita peranan masing-masing dalam
menjemput rejeki.
Ia
menyadari bahwa profesinya sebagai pengacara akan mudah sekali terhasut oleh
bujukan duniawi. Dengan iming-iming dunia terkadang seorang pengacara dengan
segala macam alasan dan dasar hukum dibuat untuk membela mereka yang bersalah
menjadi tidak bersalah. Tidak jarang mereka sengaja mencari celah dari hukum
agar seminimal mungkin orang yang bersalah tidak dapat dihukum. Tentu fasilitas
ini mudah sekali didapat bagi mereka yang memiliki uang dan kekuasaan. Mereka
memang sangat hebat!
Kalau
sudah begini jadinya, maka siapa dong yang akan membela mereka kaum yang lemah?
Makanya sejak semula Bob tidak berniat untuk mencari harta di jalan ini. Ia
hanya menginginkan hidup bahagia apapun kondisinya.
Ohya
guys hari ini ia bangun kesiangan.
Jadinya nasi uduk sambel terinya mpok Juju sudah kehabisan. Sungguh malang
nasibnya. Tetapi begitu kembali dari warung nasi, ia melihat ada seorang yang sudah
membuka lapak percis di depan kantor yang sekaligus menjadi rumah tinggalnya.
Aih-aih ternyata tukang mie ayam.
Berani bener tukang mie ayam buka lapak di depan kantor pengacara. Tentu saja
Bob Arno marah. Karena menghalangi papan praktiknya yang ada corat-coretan
tulisan DUKUH yang ditulis pakai cat semprot berwarna ungu.
Meski
ia tidak tahu apa artinya DUKUH, sang penulis mungkin berniat menyindir dirinya
yang memang DUKUH. DUKUH itu artinya DUda KumUH. Hahaha ada-ada saja. Ya kalau
kita kenal DUREN artinya adalah DUda keREN, sekarang ada DUKUH. Ungkapan itu
tepat sekali bila ditujukan kepada Bob Arno bahwa ia adalah seorang DUKUH.
Beberapa
tahun lalu ia memiliki isteri. Tetapi beberapa tahun juga, pada tengah malam di
bulan Agustus isterinya minggat dengan mobil dan segala perhiasan yang ia punya.
Padahal mobil itu dibeli atas nama Bob
Arno. Tentunya mobil itu adalah milik Bob.
Ia
tidak marah saat mobil itu dibawa kabur oleh isterinya yang ketahuan selingkuh
di depan matanya akibat yang tidak tahan dengan kehidupannya yang sedikit anti
kemapanan itu. Padahal isterinya telah mengumbar cerita kemewahan yang menikah
dengan seorang pengacara kaya, menyandang gelar master dari negeri Belanda.
Tetapi aslinya justru ia tersiksa secara materi yang jarang tercukupi. Ehm
maksudnya materi yang biasa untuk dipamerkan dan dilebih-lebihkan di depan
orang.
Sebab
apa Bob Arno tidak marah, bahkan ia ikhlas membiarkan isterinya pergi dengan
mobilnya? Tentu ada sebabnya dong. Namanya juga pengacara. Bila sedikit haknya
dizalimi oleh pihak lain, harusnya ia tidak segan mengambil kembali haknya
secara hukum dan kalau perlu memenjarakan orang yang mengambil mobil itu
meskipun pelaku pencurinya adalah isterinya. Lantas mengapa? Apakah ia terlalu
cinta pada isterinya begitu?
Oh
tentu tidak. Sebab status mobil itu adalah mobil kreditan yang belum ia bayar
kurang dari separuh harga. Biar saja isterinya yang membayar atau barangkali
sekarang mobil itu sudah disita oleh pihak leassing.
Lalu
perhiasan emas yang dibawa kabur oleh isterinya adalah bukan perhiasan emas
murni, melainkan emas imitasi. Hahaha…
kasihan bener tuh isteri. Bukan malah beruntung membawa lari sebagaian
hartanya, eh malah ketimpuk sial yang
berkepanjangan. Hah nasib-ya nasib.
Sebab
apa ia membuat perhiasan emas imitasi itu? Sebab dia ingin menjebak isterinya. Ia
sudah melihat gelagat buruk isterinya sejak awal. Pasti isterinya akan membawa
perhiasan itu sebagai modal kehidupan selanjutnya. Ia tahu percis siapa
selingkuhan isterinya itu?
Ya
tentunya lelaki hidung belang yang menyangka mereka telah hidup dengan harta
yang bergelimangan. Dan herannya lelaki hidung belang itu berlaku seolah-olah
ia adalah orang yang paling kaya di dunia sehingga dapat membutakan mata hati
isteri Bob dari cinta. Padahal Bob pun sudah mengerti kalau lelaki hidung
belang itu pun menginginkan harta dari isterinya Bob yang suka pamer perhiasan.
Lengkap
sudah penderitaan mantan isterinya yang suka selingkuh itu. Sekarang ia jatuh
miskin. Tetapi untuk kembali kepada Bob, Bob sudah tidak sudi menerimanya
sebagai perempuan yang layak dicintai dan disayangi.
Kembali
lagi ke kisah tukang mie ayam pagi ini. Ia diusir di suruh pindah ke tempat
yang menurutnya lebih baik yang tidak bertentangan dengan asas ketertiban umum.
Masalahnya ia telah menutupi papan praktik yang sedikit banyaknya telah memberinya
makan.
Kita
tidak sedang bicara masalah demokrasi yang kebablasan. Tetapi juga masalah
etika orang mencari makan.
“Saya
tidak berkeberatan bila saudara membuka lapak di sini. Tetapi ini adalah sebuah
kantor yang wajib terlihat papan namanya. Alangkah lebih baik saudara membuka
lapak di sebelah sana atau sana.” Katanya sambil menunjuk tempat-tempat yang
strategis.
“Maaf
Pak, saya tidak tahu. Apakah papan ini masih berlaku atau tidak.”
“Gembus
kowe! Jualan kok gak lihat-lihat. Sak enake udelmu!” Marahnya dengan tampang
yang sangat lucu.
“Baik
pak saya pindah.” Kata tukang mie ayam sambil mendorong gerobaknya dengan
tergopoh-gopoh.
Lantas
tukang mie meminta maaf dengan wujud semangkok mie ayam dan juga segelas es
kelapa muda.
“Apa
ini? Mau nyogok saya?” Katanya membentak sambil duduk dan membuka surat kabar
yang ia beli di jalan.
“Bukan
Pak, itu hanya sebagai salam perkenalan dari saya dan permintaan maaf saya
barusan.” Kata tukang mie ayam agak ketakutan.
“Tapi
situ ikhlas apa tidak? Kalau tidak ikhlas tidak usah coba-coba memberi. Ndak
saya keselek trus mati akibat semangkuk mie.” Katanya sambil mengambil
semangkuk mie ayam yang sudah disipakan.
“Ikhlas
pak, ikhlas. Asal saya diperbolehkan buka lapak di sini.”
“Okeh
kalau situ ikhlas, saya mau nambah. Pastinya enak toh? Kalau ndak enak, saya
kembalikan. Percuma ikhlas tetapi tidak enak, tenggorokan saya tidak terima.”
Katanya lagi sambil mengaduk-aduk mie ayam dan mulai memakannya.
“Untung
mie ayam buatanmu enak. Kalau enggak enak, hariku semakin sial saja. Kehabisan
nasi uduk teri, ndak bisa lari pagi.” Katanya sambil meminta semangkuk lagi
untuk di bungkus.
“Tenang
tambahannya saya bayar.” Lanjutnya lagi.
Dengan
tenang ia menikmati semangkuk mie ayam yang enak itu. Sesekali ia menambah
sambel dan menyeruput es kelapa. Sambil ia membaca Koran.
Ketika
ia sedang menikmati suap demi suap mie ayam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki
yang berwajah angkuh menanyakan kantor pengacaranya kepada tukang mie ayam.
“Pak
kantor pengacara yang enggak jelas praktiknya apa masih buka?” Tanya orang itu
kepada tukang mie ayam.
Tukang
mie ayam mendelik. Ingin ia menjawab, tetapi rasanya tidak etis sebab ada
pemilik yang barusan mencak-mencak. Bob Arno melirik lalu segera menjawab
dengan santai, “Udah mau bangkrut kelihatannya. Ada kasus apa kok cari
pengacara yang tidak jelas praktiknya?” Katanya santai sambil terus membaca
Koran.
“Kasus
saya ini loh. Kantor pengacara inikan tidak mutu. Karena tidak mutu, maka tidak
laku. Karena tidak laku maka tidak dipungut bayaran.” Kata orang itu
ceplas-ceplos.
“Oh
gitu.” Katanya santai tanpa ekspresi. Padahal dalam hatinya mendidih.
“Saudara itu kata siapa kok bisa tahu tidak
laku?” Lanjut Bob lagi.
“Lah
kata saya barusan. Apa situ tidak dengar? Lihat saja papan namanya itu sudah
diorek-orek tulisan begitu. Penuh karat. Apa itu artinya laku?”
“Asem
nih orang, minta bantuan kok gak pake sopan.” Pikirnya dalam hati.
“Lah
memangnya saudara kena kasus apa kok sampe frustasi mencari pengacara yang
tidak laku?”
“Kira-kira
kantor pengacara ini bisa gak ya? Saya ini kan guru honorer. Sudah 10 tahun
saya bekerja, kok enggak diangkat-angkat jadi guru tetap. Padahal rekan-rekan
saya yang lain biasanya tahun kelima sudah diangkat jadi guru tetap dengan
gajih menggiurkan. Mereka sudah enak sekarang. Ada gajih, status pegawai
negeri. Mengajar tidak perlu sambil ngoyo gitu.” Kata orang itu dengan gaya
yang sangat angkuh. Seolah ia adalah guru dan dihadapannya adalah pengangguran
tak berdaya.
“Lah
saudara sudah tanya kenapa anda tidak diangkat?”
“Ya
biasalah, orang-orang pada sinis sama saya. Apalagi yang ngurusin administrasi
dan pengangkatan PNS di sekolah saya, mereka itu sinis sekali. Kelihatannya
terlalu diskriminasi terhadap saya. Padahal saya ini pinter, punya banyak ide.
Memang agak angkuh. Biasalah orang pinter itu mesti angkuh, mesti sombong, biar
karya-karyanya gak dibajak, gak dicuri orang. Apalagi anak gadis ketua yayasan
yang naksir saya sempat saya tolak. Saya enggak berpikir kalau kemudian hari
nasib saya akan jadi seperti ini. Masalahnya yang ngejar-ngejar saya banyak.
Maklum saya ganteng.” Kata orang itu panjang lebar.
“Alah
lebay! Sok laku.” Kata Bob dalam hati.
“Meskipun
demikian, saya tetap akan mempertahankan hak saya.” Kata orang itu penuh
percaya diri.
“Lah
terus saudara yakin pengacara yang tidak mutu itu bisa membantu kasus saudara?”
“Yakin
gak yakin pak. Soalnya kasus saya ini kasus ringan. Saya sudah mempertimbangkan
masak-masak ngubek-ngubek pengacara di Jakarta ini tidak ada yang murah. Mereka
meminta minimal 25 juta. Lah saya ini sedang pas-pasan masak diakalin kaya
gitu. Gimana ini? Kebetulan pas saya melihat papan nama pengacara gak mutu ini
sudah jelas tidak ada kasus yang bermutu. Palingan dikasih 500 ribu, pengacara
itu menganggap itu rejeki. Lumayan buat beli rokok sama beli pulsa. Apalagi
kalau pengacara itu mau diajak kongkalingkong dalam rangka untuk memeras ketua
yayasan. Pengacara itu saya suruh buat somasi lalu mengancam ketua yayasan agar
membayarkan gajih saya selama 5 tahun dengan kerugian materil dan immaterilnya.
Kalau materil minimal 1 milyar, nah kalau yang immaterial bisa 5 milyar.
Wah
bisa cepat kaya saya pak. Saya tinggal gunain pengacara bodoh itu, dan saya
uncang-uncang kaki menerima harta hasil rampasan. Pasti pengacara itu saya
kasih 1 juta akan senengnya bukan main.”
Bob
Arno mengerutkan dahinya seperti orang linglung setelah mendengar petir gledek
yang gak berenti-berenti. Seolah ingin bertanya dan mempertegas setiap kalimat
yang diungkap dan begitu menyinggung perasaannya tetapi ia agak malas
menanggapi orang bodoh ini.
“Jangan
heran pak. Kerjanya pengacara memang begitu. Lah wong pengacara itu
singkatannya Pengangguran Banyak Acara. Yang ujung-ujungnya duit alias UUD.
Hahahaha” Kata orang itu terbahak-bahak.
Kuping
Bob Arno semakin panas. Setelah selesai sarapan mie ayam Bob Arno masuk ke
pekarangan kantornya. Orang asing yang sedang asyik merokok malah terkejut.
Tetapi dasarnya orang sombong, malah ia menganggap Bob adalah tukang kebunnya.
Ya jelas karena pakaian menunjukkan identitasnya sebagai tukang kebun. Pakai
sandal jepit, kaos oblong, celana selutut. Semua telah menjelaskan bahwa sosok
Bob Arno hanyalah tukang kebun. Kebetulan saja membawa Koran sehingga terlihat
agak berbeda. Tetapi maknanya sama. Yaitu tukang kebun.
Terlebih
setelah itu Bob membuka gerbang dan mengambil sapuh lidi yang panjang seolah
ingin menyapu halaman. Orang tadi kemudian mengikutinya dan masuk kantor dengan
gagahnya setelah ia membuang puntung rokok di depan Bob Arno. Sambil
mengangkat-ngangkat dahi menyuruh Bob Arno menyapuh dengan bersih.
Siapa
nyana, sungguh ia terkejut melihat kantor pengacara yang anak buahnya semua
sibuk mengurus banyak kasus. Tidak kalah sibuknya dengan kantor pengacara yang
maunya dibayar mahal. Orang itu duduk seperti orang tolol. Mungkin juga syok
melihat keadaan yang berbeda dengan alam bawah sadarnya.
Tidak
lama seorang perempuan cantik di front
office menyuruhnya mengisi buku tamu dan memintanya mengisi registrasi.
Semakin kagetlah ia ketika ia melihat Bob Arno yang sedang ditanya oleh anak
buahnya yang berpakaian rapih dan berdasi, bertanya kepadanya tentang hukum.
Bob Arno menjelaskan beberapa peraturan lengkap dengan nama peraturannya yang
sudah ia hafal di luar kepala.
Kalau
tidak salah sengketa mengenai Hak Paten sebuah industri otomotif di Jakarta
yang telah dibajak oleh perusahaan dari Prancis. Bob menerangkan dengan
bersahaja dan menghafal semua peraturan yang terkait di dalamnya.
Sambil
sesekali melirik dan mengawasi orang itu, ia melihat orang itu malah pergi
begitu saja melarikan motornya yang terparkir di luar pintu gerbang. Aih-aih
malu deh cyn. Makanya jadi orang
jangan sok asoy!
2.
Sekretaris
Cantik
Bob
tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan orang tadi yang tidak genah. Dengan
penasaran, ia melihat buku tamu dan mengecek namanya. Namanya Suparjo, lahir di
Kebumen, 12 April 1984. Ia bercerita dihadapan para anak buahnya dengan tertawa
puas sekali.
Kali
ini ia telah mengelabui orang tersebut
dengan cara yang sangat bersahaja. Tiba-tiba ia bertanya mengenai DUKUH. Siapa
yang menulis DUKUH di Papan Praktiknya? Apa artinya?
Sekali
lagi tidak ada yang mengaku. Hanya mereka tertawa terbahak-bahak menertawakan
ketidaktahuan Bob Arno tentang DUKUH.
“DUKUH
Palembang kali bos.” Kata Firman sambil tertawa.
“Gini
bos, pernah dengar singkatan DUREN?” Apri mulai memberitahukannya.
“DUREN
itu aku, DUda keREN. Nah DUKUH? DUda gak laKUH gitu?” Katanya sambil menebak-nebak.
Semua
orang yang ada di situ tertawa-tawa. Mengingat bos mereka yang memang lugu,
yang marahnya lucu, selalu menikmati hidup apa adanya.
“DUKUH
itu DUda KumUH!” Kata Marsela sambil tertawa.
“Gembus
kowe Sel. Ngatain aku kok dalem buanget.” Marahnya sambil melempar kertas.
Catatan
: Marsela ini adalah anak buahnya yang jaga di front office. Ia sangat manis.
Tetapi pernah berprestasi menolak cinta Bob Arno karena telah memiliki pacar
seorang dokter. Meski kadang Bob Arno masih menyimpan kecewa pada Sela, tetapi
ia masih menginginkan Marsela berada di garda depan kantor pengacaranya. Sebab
ia sangat professional dan sangat menjual.
Setelah
mengingat kejadian barusan, tidak lama Bob Arno mengumumkan kepada anak buahnya
untuk bebas berpakaian apa saja. Boleh pakai pakaian adat, boleh pakai baju
tidur, bahkan boleh kausan singlet sandal jepit untuk berangkat ke kantor pun
tidak apa-apa. Sebab yang namanya kerja tidak dilihat dari pakaian, tetapi dari
intelektualitas dan kemampuan kalian dalam berkarya.
Bob
bangga sekali karena telah membuat orang lain begitu tertipu dengan
penampilannya barusan. Ia langsung menulis di twitternya : Ay malu deh cinnn
ketempong sama kulit aing!!!
Bukan
kali ini saja, tetapi hal ini membuatnya tertawa terbahak-bahak. Pengalamannya
pada masa lalu, saat ia berpakaian kumel diperlakukan semena-mena oleh calon
kliennya yang berasal dari golongan pejabat daerah. Kemudian tidak lama ia berpakai
pakaian yang berkelas. Tentu saat itu juga ia mendapat penghargaan dan perlakukan
yang berbeda. Sehingga ia tahu benar bagaimana orang yang berperangai baik hanya
ketika di hadapannya yang berpakaian serba necis saja. Di luar itu, ia akan
diinjak-injak , ditendang, dipermainkan secara tidak wajar. Ya itu hanya
sedikit mengenai BAB PAKAIAN. Belum lagi bab-bab kehidupan yang lain yang
seringkali menipu pandangan mata manusia secara zahir.
Bob
juga pernah membuat malu beberapa pejabat penting akhirnya tertunduk tersungut-sungut
bila bertemu dengan dirinya. Sungguh ini adalah sesuatu yang membuatnya tertawa
terkekeh-kekeh apabila mengingat kejadian ini. Bahkan tidak berhenti tertawa.
Ia merasa hatinya dikelitiki oleh benda kecil semacam bulu angsa yang tiada
henti. Ia hanya tertawa dan kemudian lemas, lalu tertawa lagi. Nyaris gila
karena ketawa.
“Kalau
gak pake baju, gimana bos?” Tanya Ardi.
“Terserah
kamu toh. Yang penting si Sela harus tetap cantik. Lawyer dan paralegal harus
tetap professional dandanannya. Selain itu mau lempar-lemparan piring, mau
menyetel music keras-keras di kantor ini, tidak masalah. Berbuatlah sesuka
kalian tanpa tekanan. Tetapi ya harus bertanggung jawab.” Katanya sambil duduk dan
menaikkan kakinya di atas meja dan menyetel music rock keras-keras.
Ketika
ia sedang duduk santai sesantai-santainya tiba-tiba melintas wanita cantik
dengan tinggi semampai dan rambutnya panjang terurai. Senyumnya manis sekali
bak puteri bulan.
Tetapi
sayang pemandangan yang begitu indah itu tidak sengaja dirusak oleh Firman yang
tidak sengaja melempar rambutnya dengan kulit kacang. Dengan mata melotot Bob
memarahi Firman sambil berkenalan dengan wanita itu dengan gayanya yang sok
asoy.
Namanya
Candra Kirana. Wanita itu adalah panggilan kerja Ardi bagian HRD. Ia mengajukan
diri sebagai akuntan kantor pengacaranya dan hari ini adalah hari interviewnya.
Bob
Arno langsung memanggil Ardi. Nampaknya ia sangat tertarik dengan penampilan
Candra yang telah membuat hatinya terpenjara. “Ckckckck bidadari sorga hadiah
yang begitu istimewa untuk seorang jomblo seperti saya. Jomblo bukan berarti
tidak laku. Jomblo bukan pula pecundang. Ia hanya orang yang sedang menanti
kesempatan menemui bidadarinya yang telah dikirimkan oleh Tuhan.
Ironis
sekali! Peraturan yang baru saja ia buat, terpaksa harus ia cabut kembali
karena tidak sesuai dengan asas kemanfaatan dan ketertiban umum.
“Secara
sosiologis masyarakat sini belum dapat menerima peraturan. Apalagi secara
filosofis. Masyarakat sini pun tidak dapat mengerti apa arti filosofis
kebebasan dalam sebuah aturan hukum yang diberlakukan. Masyarakat sini belum dapat
membedakan antara kebebasan dengan kebablasan.” Katanya nyerocos sendirian.
Benar
saja, begitu ia masuk ke ruang umum, ia melihat anak buahnya yang sudah lagi
berpakaian layaknya bekerja pada kantor pengacara. Bangku dan kursi sudah
berantakan sekali. Sebuah pemandangan yang buruk sekali.
Mereka
malah melempar-lempar kulit kacang dan menebarnya kemana-mana. Keadaan sudah
benar-benar darurat apalagi di depan wanita secantik Candra.
“Cuit…cuit
ada cewek cantik…”
“Namanya
capa cih?”
“Neng
bapaknya tukang ojek ya neng? Sebab hati abang telah eneng ojeki sama permen
kojek.”
Gitu
deh liarnya lelaki, gak boleh lihat perempuan yang jidatnya bening sedikit langsung
keluar sifat liarnya. Bob Arno sudah tidak lagi terlihat sebagai bos. Sosoknya
seperti angin yang bening yang tidak terlihat. Makanya dia keki banget.
Bob
Arno langsung meniup pluit panjang dan memainkan tangannya seperti layaknya hakim
garis di pada pertandingan sepak bola yang akan memberikan kartu kuning kepada
anak buahnya. Ia menyuruh anak buahnya untuk menghentikan segala aktivitas yang
memalukan.
“Semua
duduk kembali ke tempat semula. Peraturan yang barusan saya buat, saya cabut
kembali. Kalian ini sangat tidak disiplin. Dikasih sedikit kesempatan untuk
berkreasi, malah kebablasan. Sehingga betul apa yang dikatakan seorang ahli hukum
bahwa kekuasaan akan menyebabkan
seseorang melakukan korupsi, menyalah gunakan kekuasaan, ya seperti ini.
Sekarang
ini saya tambah lagi peraturan agar kantor tetap dalam keadaan disiplin maka
setiap detik keadaan kantor harus di up load ke youtube sebagai
pertanggungjawaban kalian di hadapan publik.”
“HAAAAAAHHHHHHHHHHH???
Apa perlu begitu Pak?” Seru Candra tanpa sadar.
“Hups
tidak perlu dik Candra. Pokoknya semua harus rapih dan disiplin untuk
meningkatkan kinerja kita.”
Bob
berbicara empat mata pada Ardi. Rupanya ia meminta CV Candra dan juga meminta
Candra untuk menjadi sekretaris pribadinya pada Ardi. Ardi sempat
mempertahankan Candra untuk tetap menjadi akuntan kantor.
“Masalahnya
Candra itu jurusan akuntansi, bukan sekretaris. Kita harus bekerja secara
professional Pak. Ia pun melamar untuk bagian akuntansi, bukan sekretaris.”
“Iya,
tapi yang punya kantor kan saya. Apa kantor kita butuh akuntan?”
“Betul,
seperti yang Bapak bilang tadi, kekuasaan
membuat seseorang untuk berbuat sesuka hati. Kita harus melihat apa kemauan
Candra yang akan saya interview nanti. Kita membutuhkan seorang akuntan untuk
melindungi keuangan kita agar jangan sampai terjadi korupsi. Semua orang dapat
melakukan korupsi. Tidak Bapak, tidak saya, mungkin juga teman-teman kita.” Kata
Ardi yang sebal.
“Tidak
perlu kamu interview. Biar saya saja. Mana CVnya?” Kata Bob yang begitu
bersemangat untuk mengetahui siapa gadis cantik ini. Sedang Ardi cemberut
kecut.
“Okey
saya bisa mengerti kalau saya salah. Tetapi saya kira kantor ini tidak
membutuhkan akuntan. Toh tidak ada
yang korupsi di sini. Semua dibayar sesuai dengan kinerja yang ada. Saya hanya
butuh sekretaris pribadi dan saya hanya mau dik Candra.” Katanya sambil
melihat-lihat CV Candra dengan fotonya yang sangat manis.
“Tidak
masalah. Sekretaris bukan berarti akan menjadi pasangan hidup nantinya. Kita
bersaing secara sehat dan jantan sebagai lelaki” Kata Ardi yang mulai mengerti
apa kemauan bosnya.
“Baik!”
Katanya penuh percaya diri.
Bob
langsung menyuruh anak buahnya untuk mendesain ruangannya yang sekarang ada
Candra di dalamnya. Candra pun terkejut dengan penerimaan dirinya tanpa
wawancara.
Jujur
saja, sebenarnya ia hanya ingin melakukan riset tesisnya tentang audit kantor
pengacara yang terkenal sangat bersahaja. Bagaimana kondisi finansial kantor
ini? Bagaimana kemakmuran para pegawainya?
Tentu
semua beberapa identitasnya seperti sudah menikah dan sedang melanjutkan
pendidikan jenjang S2 tidak ia cantumkan. Tujuannya agar kantor pengcara dapat
memberikan data yang akurat sehingga ia dapat memastikan hasil penelitiannya
sedemikian valid.
Candra
Kirana sudah menikah dengan seorang lelaki yang bekerja sebagai pegawai Bank
Central. Setelah 2 tahun menikah, ia tidak memiliki anak. Beberapa faktor yang
menyebabkan ia tidak memiliki anak sampai sekarang sampai saat ini antara lain
karena suaminya sibuk bekerja dan juga tubuh suaminya yang agak sedikit gendut.
Sedangkan
dirinya masih luntang-lantung dengan tesisnya yang belum jelas bagaimana
penelitiannya. Ia pun ingin sekali bekerja dan mencari penghasilan tambahan apalagi
ia memiliki banyak waktu luang untuk bekerja.
Sebenarnya
suaminya ingin ia tidak bekerja. Mengurus rumah tangga saja. Suaminya, Darwis
sayang sekali padanya. Terkadang ketika liburan ia sengaja bangun lebih awal
membuatkan sarapan, memanjakan Candra seperti anak bungsu yang sukar bangun.
Darwis memiliki kemampuan memasak yang mahir melebihi kemapuan memasak
perempuan pada umumnya. Keterampilan berharga ini ia dapati ketika ia mengambil
master di negeri kangguru dan ia bekerja paruh waktu pada sebuah resto ternama
di sana.
Dasarnya
Candra si anak manja, ia malah betah tinggal di rumah dengan aktivitas yang
itu-itu saja. Tidak ada anak, dan setiap hari kerjanya hanya sibuk shopping dan
melototi televisi. Makanya ia berangkat kuliah untuk meneruskan masternya. Tetapi
kok kuliahnya kini malah terbengkalai akibat penelitian tesisnya yang belum
juga ia mulai. Maka mulailah ia untuk menyingsingkan lengan mengerjakan
tesisnya.
Ketika
ia searching di mbah Google, ia menemukan sebuah kantor pengacara yang sedang membutuhkan
akuntan untuk mengaudit kantornya. Hal ini dibutuhkan untuk transparasi kantor
sehingga semakin jelas aliran dana-dana yang diterima adalah dana yang berasal
dari sumber bersih.
Semula
ia sangat heran dengan kantor pengacara yang ingin mengadakan audit seperti ini.
Tetapi atas nama transparansi mengapa tidak. Toh ini memang menarik. Mungkin saja kantor pengacara yang besar
telah melakukannya tetapi lain cerita ini adalah kantor pengacara yang tidak begitu
terkenal namanya. Alamatnya di perkampungan kecil pula. Websitenya pun tidak
ada.
Dengan
menyingkirkan berbagai keraguan, ia mencoba melamar pekerjaan demi sebuah tesis
yang harus selesai. Setelah tesis itu selesai, barulah ia memikirkan hal ihwal
ia akan memiliki pekerjaan di kantor yang bonafid.
Dengan
kehadiran Candra di kantor ini memberikan perubahan yang begitu drastis. Bob
Arno menyuruh anak buahnya untuk memasang AC di ruangannya. Padahal dulu tidak
kepikiran sampai pasang AC segala.
Ruang
perpustakaan ditata sedemikian menarik seperti ruang perpustakaan kampus-kampus
di Eropa. Semua buku-buku besar semacam Black Law Dictionary, Law Ensilkopedia,
buku-buku karangan Utrecht harus terpampang jelas di muka dengan identitas buku
yang begitu jelas terbaca. Siapa peminjam, kapan akan dikembalikan, semua harus
terdata dalam sistem komputerisasi.
Sekarang
kantor telah memiliki website yang apik. Setiap orang yang ingin menyewa
jasanya dengan mudah dapat dicari di internet. Beberapa logo klien perusahaan
yang pernah menyewa jasanya, dipampang dengan jelas di halaman web. Semua
tampak serba professional.
Bob
juga mempercantik taman-taman tanpa melupakan harus memperbaharui Papan
Praktiknya dari coret-coretan kotor. Desain interior pun sungguh menarik.
Nyaman, asri dan segar dengan iringan instrument musik seperti Anda mengunjungi
toko buku Gramedia.
Tentu
juga penampilan Bob yang semakin berwibawa di mata anak buahnya. Sekarang ia
memakai jas, kadang tusedo yang mahal. Bahkan orang tidak akan tahu kalau ia
membelinya di Pasar Ular dan harganya pun tidak lebih dari seratus ribu rupiah.
Beberapa
kali ia mulai sering melakukan perawatan wajah untuk sedikit mengurangi keriput
di wajahnya. Tentu saja yang mengantar adalah Candra dengan SUV Jukenya.
Sebuah perubahan yang luar biasa nyaris dapat
dibilang revolusi total. Kenapa ia melakukan semua ini? Yang pertama mungkin ia
menginginkan suasana yang baru karena kehadiran seorang Candra yang terlihat
selalu rapih. Kedua mungkin ia sedang jatuh cinta pada Candra. Itu merupakan
hal yang biasa dilakukan oleh seorang yang sedang jatuh cinta yaitu berbuat
bodoh dan selalu melakukan hal yang tidak diduga-duga sebelumnya.
So
pasti tidak mengurangi siapa Bob Arno yang suka cekakan dan berhumor
gila-gilaan. Meskipun sedikit agak berkurang akibat jaim terhadap Candra.
Candra
adalah bulan yang tengah tersenyum di dalam hati Bob. Mungkinkah Bob telah
benar jatuh hati padanya? Tentu sebaliknya, apakah Candra akan jatuh hati pada
sosok Bob yang usianya jauh lebih tua di atasnya dan Candra pun telah memiliki
suami pula?
“Dik
Candra, sudah sarapan belum?”
Candra
tersenyum, lalu menjawab “sudah Pak”.
“Mau
ikut sarapan lagi sama saya? Kebetulan nih saya bawa nasi uduknya 2 bungkus?”.
“Terima
kasih Pak saya sudah kenyang.” Jawab Candra malu-malu.
“Wooooo…
yang ditawarin cuma Candra doang, kita-kita gak ditawarin.” Ledek Ardi yang
sebal dengan tingkah Bob yang sekarang aneh.
“Lah
nek nawari kowe iso entek kabeh noh. Aku ngerti nek aku nawarin Candra pasti
gak diterima, makanya aku tawarin.” Alesannya sambil melirik Candra yang sedang
membuka laptopnya.
Ardi
yang gemas dengan bosnya, langsung membawa tentengan nasi uduk itu dan
membagi-bagikannya pada rekan-rekannya yang lain. Bob Arno hanya menggeleng-geleng
kepala kemudian menggigit dasinya. Ya begitulah nasibnya.
3.
NAMANYA
DEWI SARTIKA
Bob
memeriksa Sella yang sedang menerima tamu. Tidak sengaja ia melihat seorang
tamu wanita yang cantik jelita dengan dandanan yang begitu modis seksi meski
tidak dapat dibohongi wanita ini sudah berumur.
Dengan
pakaian serba mahal dan perhiasan yang serba mahal pula kiranya tentu masih
dapat menarik perhatian lelaki seperti Bob untuk mengatakan bahwa wanita ini
adalah cantik. Wangi parfumnya, blik-blik di hidungnya yang mancung sepertinya
itu adalah berlian yang mahal harganya.
Kalau
di dekatkan dengan Candra, kedudukan Candra menjadi nomor 2. Wanita cantik ini
seperti berasal dari golongan high class
yang tidak pernah merasakan hidup susah. Barangkali ia tidak mau sarapan dengan
nasi uduk dan sambal teri. Begitu sempurna wanita ini di mata Bob. Bob begitu
terlena sehingga sedikit melupakan BAB PAKAIAN yang seringkali menipu pandangan
mata.
Bob
menerima tamu yang datang pada kantornya dan mencoba mendengarkan segala
keluhannya dengan penuh perhatian. “Bagaimana ibu Dewi Sartika, apa yang bisa
saya bantu?”
“Begini
Pak Bob. Saya ini seorang janda beranak satu.”
Jantung
Bob berdegub kencang begitu mendengar identitasnya sebagai janda beranak satu.
Seperti ia tidak berniat menghianati perasaannya pada Candra yang sedang duduk
di depan komputernya memeriksa angka demi angka untuk kebaikan kantornya.
Ia
tidak ingin mengecewakan Candra bila tiba-tiba perasaan Candra pun akhirnya
menerima segala perhatiannya selama ini. Apalagi setiap hari Candra selalu
merapihkan segala catatan untuk mata perkuliahan yang diasuh Bob di universitas
yang belum rapi. Ia selalu merapihkan tempat duduknya, susunan buku dan majalah
hingga segala macam yang membuat kantor ini semakin nyaman.
Sungguh
dari kejauhan ia melihat keseriusan Candra dalam pekerjaan, ia begitu terlihat
cantik alami. Candra begitu tulus padanya mengabdi di kantor yang belum
memiliki nama besar. Namun sosok Dewi Sartika telah menawarkan segala kemegahan
dan kemewahan yang ada padanya.
“Lalu..?”
“Saya
bercerai dengan suami saya sejak lima tahun lalu dengan satu anak perempuan
yang berusia 10 tahun. Kami memiliki perusahaan bersama yang bergerak di bidang
pertambangan.”
“Wow
pantastis!” Katanya dalam hati. Namun semakin jauh hati Bob Arno dari kehidupan
Dewi yang asalnya memang kaya raya. Dewi pasti tidak menginginkan hidup dengan
sedikit anti kemapanan sebagaimana yang ia inginkan.
“Kemudian
saat kami bercerai, segala asset kami harusnya kan dibagi 2, tetapi yang
terjadi malah dalam laporan perusahaan yang tertuang, terdapat kewajiban bahwa saya
harus membayar beberapa hutang perusahaan dan perusahaan kami yang hampir
pailit. Lalu saya menyatakan mundur dari perusahaan yang sudah bangkrut dan
tidak memiliki laba melainkan sisa tumpukan hutang yang harus kami tanggung.
Namun ternyata perusahaan itu tidak benar-benar bangkrut. Buktinya sampai detik
ini perusahaan tersebut masih beroperasi seperti sedia kala.
Saya
teringat ketika menjelang perceraian, saya menemukan setumpuk cek atas nama
mantan suami saya dengan nilai hampir triliyunan. Sempat saya mempermasalahkan
darimana ia memperoleh uang itu. Mengapa banyak sekali jumlah cek-cek itu atas
namanya? Mantan suami saya tidak mau menjawab dan malah kami bertengkar hebat
malam itu.
Saya
masih bingung mengenai konsep pembagian harta gono gini dan konsep harta
bawaan. Sedang perusahaan itu sebenarnya adalah perusahaan keluarga saya.
Memang saya anak tunggal sehingga saya tidak perlu bertanggungjawab kepada
saudara-saudara saya. Tetapi sangat tidak logis bila setelah perceraian
terjadi, saya tidak memiliki apa-apa. Bahkan hak asuh anak saya yang masih
berumur 10 tahun pun jatuh padanya. Kalau tidak salah secara hukum hak
pengasuhan anak di bawah umur 18 tahun masih berada pada pengasuhan ibunya.
Baru setelah itu ia dapat memilih kepada siapa hak asuh tersebut dipegang.
Kalau tidak salah begitu kan Pak Bob?” Begitu Dewi Sartika menguraikan kasus
hukumnya.
Bob
Arno mengangguk membenarkan. Ia pun secara serius menyimak secara mendalam
kasus posisi Dewi Sartika saat ini. Ia benar-benar merasakan hal yang aneh.
Tetapi bagaimana mungkin sebuah perusahaan besar dapat beralih begitu saja tanpa
adanya RUPS dan pelaporan keuangan perusahaan yang diaudit secara transparan?
Sebagai
pengacara kawakan, ia mengerti betul bagaimana mencari solusinya. Ia selalu
tertantang bila menghadapi kasus hukum yang jatuh padanya. Terlebih kalo ini ia
merasakan sesautu yang berbeda dari biasanya.
Ia
benar-benar tertantang dengan kasus Dewi Sartika. Ia ingin melibatkan Candra –yang
aslinya berprofesi sebagai akuntan tetapi kini berprofesi sebagai sekretaris
pribadi Bob Arno- agar mereka dapat mengetahui pos-pos mana yang digelapkan
oleh mantan suami Dewi Sartika. Bagaimana asset itu beralih, dan bagaimana
keadaan harta perusahaan saat ini.
Bob
segera merundingkan kasus ini kepada anak buahnya. Mereka membentuk team khusus
yang mampu bekerja secara profesional khusus untuk menangani perkara ini.
Candra
mengajukan beberapa personal di luar sana yang dapat bekerja dengan gerak
cepat. Kebetulan ia mengenal Susi yang bekerja sebagai akuntan di perusahaan
mantan suami ibu Dewi Sartika.
Susi
adalah sahabat dekat Candra ketika duduk di bangku kuliah. Seperti sebuah
kebetulan saja. Dari susi ia mengumpulkan beberapa pos-pos yang mencurigakan selama
ini yang akan diajukan sebagai novum di pengadilan.
Tentu
ia juga akan melibatkan suaminya, Darwis yang bekerja di Bank Central. Darwis
berfungsi untuk melihat rekening pribadi yang dimiliki oleh mantan suami ibu
Dewi Sartika.
Kedua
orang ini bekerja dalam team Candra. Demi dan atas nama profesionalitas, Candra
tidak menyebutkan siapa personalnya. Ia hanya mengatakan kalau ia dapat
mengumpulkan bukti-bukti yang dibutuhkan.
“Bagus
sekali cara kerjamu Candra. Saya suka dengan cara kerjamu yang begitu
terstruktur.” Kata Bob yang senang dengan deskripsi kerja Candra.
“Saya
juga memiliki teman di perpajakan. Agar dapat mengetahu berapa besar pajak
perusahaan selama ini. Sehingga kita dapat mengetahui beberapa besar asset yang
ada pada perusahaan.” Kata Wawan yang biasanya ngawur tetapi kali ini serius
membuktikan pada team untuk membela kasus Ibu Dewi Sartika.
Team
bekerja siang dan malam. Mereka begitu semangat seolah mendapat energi baru
untuk kemajuan bersama. Ternyata mereka memiliki mimpi yang besar untuk itu.
Tidak melempem dengan kinerja yang
dulunya acakkadul.
Tanpa
putusan pengadilan niaga dan juga tanpa rapat RUPS, Ibu Dewi masih memiliki
kedudukan tetap sebagai pemilik. Bob Arno menyarankan agar Ibu Dewi tetap
berangkat ke kantor guna memeriksa perusahaannya meskipun dalam perasaan tidak
enak terhadap mantan suaminya. Karena di sana pasti ada mantan suami dan juga
jajarannya yang tidak terlampau menyukai Ibu Dewi.
Mengenai
teknis, Firman akan memasang orang-orang dalam perusahaan Ibu Dewi agar Ibu
Dewi kembali kerasan kembali kepada perusahaannya. Tentunya dengan selamat dan
juga aman dari tekanan mantan suaminya.
Dengan
penjagaan ketat orang-orang terselubung yang menyamar menjadi office boy, sekuriti,
juga orang-orang yang biasanya tidak ada pada perusahaan. Semua nampak tidak
terlihat kalau di sini sedang dilancarkan misi membongkar penggelapan yang
dilakukan mantan suami Ibu Dewi.
Candra
juga menekan Susi agar menunjukkan pos-pos kotor yang dilakukan oleh mantan
suami Ibu Dewi. Susi harus menunjukkan semua itu sebagai bukti di Pengadilan
Niaga kalau perusahaan mereka masih memiliki asset yang memadai dan tidak berada
dalam keadaan pailit.
Mereka
yang mengumpulkan bukti segera menulis nota pembelaan. Setiap hari mereka
bolak-balik ke kantor ini, kantor itu. Pengadilan niaga, pengadilan umum.
Mereka harus benar membuktikan adanya penggelapan yang terjadi pada perusahaan
Ibu Dewi. Mereka sungguh-sungguh membantu untuk kasus Ibu Dewi.
Bob
Arno pun beberapa kali mendatangi kantor Ibu Dewi dan bertemu dengan mantan
suami Ibu Dewi yang sekarang diketahui sudah memiliki pacar lagi. Bob geram
sekali dengan pasangan yang menghianati pasangannya.
“Kalau
seandaianya pendapat saya dapat dijadikan dasar hukum, saya akan mengatakan
bahwa kejahatan perselingkuhan hampir sama dengan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Sebab apa?”
“Sebab
apa Pak Arno?” Tanya Ibu Dewi penasaran.
“Sebab
perselingkuhan telah membuat kehidupan pasangan yang sebelumnya menjadi tidak
tentram, berantakan, menjadi tidak harmonis, sulit mengejar kehidupan yang
lebih indah karena didera perasaan kecewa yang mendalam. Namun sayang, pendapat
saya tidak dapat dijadikan dasar hukum karena saya bukan siapa-siapa. Saya
bukan ahli hukum yang perkataannya dapat dijadikan sebuah doktrin, saya juga
bukan hakim yang dapat mengeluarkan yurisprudensi dalam putusannya, dan
perselingkuhan yang tertera dalam KUHP tidak pernah disebut sebagai kejahatan.
Hanya delik perzinahan yang dijadikan delik aduan saja oleh pasangannya yang
merasa dirugikan. Itu pun masih dengan catatan, bila hal tersebut dilaporkan
oleh pasangannya. Kalau pasangannya tidak merasa dirugikan dan tidak
melaporkan, maka hal itu dianggap biasa-biasa saja.”
“Harusnya
demikian ya Pak Bob. Hanya masalah perasaan yang sering diabaikan oleh orang
sebenarnya urgensinya penting. Sulit sekali perasaan yang telah terluka untuk
dikembalikan kepada keadaan semula. Padahal di sana banyak kehidupan. Ya
isteri, ya suami, ya anak. Ya kalau anaknya hanya satu seperti saya, tetapi
kalau anaknya banyak? Apa jadinya? Bagaimana kehidupan tidak hancur lebur oleh
perasaan terluka yang semestinya tidak ada?” Kata Ibu Dewi yang sebenarnya
mengiyakan pendapat Bob Arno.
“Nah
kalau Pak Bob bagaimana kabar keluarga Pak Bob Sendiri? Anak sudah berapa?
Pastinya harmonis kan?” Lanjut Ibu Dewi yang sama sekali tidak tahu menahu
tentang kondisi keluarga Bob Arno.
Bob
Arno terdiam. Ibu Dewi terus memancingnya untuk menjawab.
“Tidak
jauh keadaan keluarga saya dari keadaan keluarga Ibu Dewi. Hanya saya tidak
memiliki anak. Isteri saya pergi dari rumah meninggalkan saya.”
“Oh
tidak. Anda kan pengacara? Kenapa bisa terjadi?” Dewi Sartika begitu heran.
“Ya
bisa-bisa saja. Saya manusia biasa. Dan mantan isteri saya juga manusia biasa
yang bisa pindah hatinya kapan saja dia mau dan kepada siapa saja yang ia
inginkan. Tentu hal itu bisa saja terjadi kepada siapa saja.”
“Prihatin
juga mendengar kondisi Anda. Sudah berapa lama?”
“7
tahunan. Ya 7 atau 8 tahun begitu. Karena saya pun tidak mau mencari orang
seperti dia. Sejauh ini saya nyaman hidup sendiri untuk mengabdi kepada hukum.
Membantu orang yang membutuhkan hukum. Juga mengajarkan hukum kepada kelas yang
membutuhkan ceramah saya. Juga sahabat-sahabat saya di firma yang begitu setia.
Meski seringkali terjadi huru-hara. Ya begitulah kehidupan saya sekarang. Tanpa
keluarga tetapi banyak orang disekitar saya. Sehingga saya tidak terlalu merasa
tidak berguna.”
“Hahaha
kenapa bisa? Terus terang Pak Arno, saat saya memasuki kantor Anda, saya
merasakan persahabatan yang begitu kental. Bagus sekali Anda mengelola anak
buah Anda dengan baik.”
“Ya
begitulah. Sejak dulu saya inginkan ya seperti itu. Saya menganggap mereka
seperti adik-adik saya..”
“Termasuk
dik Candra yang sangat manis. Hahahaha” Sambung Ibu Dewi dengan cepat.
“Loh
kok Ibu Dewi tahu kalau saya memanggil ia dengan sebutan dik Candra?”
“Iya,
saya tahu. Beberapa kali saya mendengar Pak Arno memanggil namanya dengan
sebutan “dik”. Kebetulan saya juga sebagai wanita, sehingga saya tahu betul
bagaimana perasaan dik Candra saat Pak Arno memanggil itu.”
“Kalau
boleh tahu, perasaan wanita akan seperti apa ya Ibu Dewi? Saya jadi kepingin
tahu?”
“Yang
saya lihat saya sangat malu. Tetapi sukar ia mengatakan tidak. Sebab ia sangat
hormat kepada Anda.” Jawab Ibu Dewi.
“Terus
terang, ia baru beberapa bulan bekerja di firma. Ya, baru beberapa bulan.
Banyak sekali yang menyukainya. Ia sangat baik, teratur, dan tentu dapat
diandalkan.”
“Ya
saya melihat hal itu pada Candra. Ia sosok yang memang piawai dalam memegang
pekerjaan. Komitmennya tinggi terhadap komitmen yang telah ia buat. Saya akui
Pak Arno, Anda sangat beruntung memiliki pegawai seperti Candra.” Puji Ibu Dewi
berkali-kali.
“Alhamdulillah
Ibu Dewi akhirnya Tuhan menunjuki saya orang-orang yang baik. Seperti halnya
Ibu Dewi yang saya rasa Anda juga orang baik. Anda sabar menghadapi ujian
seperti ini. Yang tidak jarang seorang wanita mau berjuang lebih keras melawan
segala cobaan hidup yang dialami. Kebanyakan mereka memilih mundur dan tidak
mencari haknya lebih jauh.” Puji Bob Arno yang melambungkan perasaan Dewi
Sartika.
Barangkali
keduanya mungkin telah memiliki perasaan yang sama. Namun apakah waktu akan
mengijinkan mereka dapat hidup bersama-sama? Oh so sweet..
4.
CANDRA
VS DEWI
Kasus
Ibu Dewi telah didaftarkan kepada Pengadilan. 2 Pengadilan sekaligus yang
memeriksa. Yang pertama Pengadilan Agama yang mengurus tentang harta perceraian
dan juga hak asuh puteri Ibu Dewi. Yang kedua adalah Pengadilan Niaga yang akan
membongkar penggelapan perusahaan yang dilakukan oleh mantan suami Ibu Dewi.
Bila
kasus telah didaftarkan dan telah diterima oleh pengadilan, maka tinggal tunggu
waktu proses pengadilan akan berjalan. Hanya butuh sedikit kesabaran untuk
memperoleh kemenangan yang gemilang.
Mantan
suami Ibu Dewi begitu terkejut ketika ia mengetahui telah ada akuntan publik
yang mengaudit perusahaan di luar sepengetahuannya. Tentu data-data yang
disodorkan adalah riil dan valid.
Akibat
dari kesaksian akuntan publik ini semakin memberatkan posisi mantan suami Ibu
Dewi. Demikian juga mantan suami Ibu Dewi telah melakukan kejahatan penggelapan
pajak. Semakin rumitlah ia.
Dalam
keadaan yang serba kepepet ini, ia menekan kepada pihak Ibu Dewi dengan
berbagai serangan yang bertujuan untuk memaksa Ibu Dewi mencabut gugatannya. Ia
mengancam untuk membunuh Ibu Dewi. Ia melempar rumah Ibu Dewi dengan bom
Molotov. Tentu saja team pengacara Bob Arno telah memperkirakan sebelumnya akan
terjadi kejadian seperti ini.
Semua
kejahatan telah direkam dengan baik dan tidak ada kejahatan yang terlewat
begitu saja. Dengan pengacara yang handal, Ibu Dewi merasa kedudukannya begitu
kuat dan terlindungi.
Ia
mengatakan bahwa pelayanan hukum yang diberikan Bob Arno lebih dari sekadar
pelayanan hukum biasa. Ia telah benar-benar merasa nyaman dengan semua ini. Ia
tidak takut bila mantan suaminya mendekat. Bahkan Annisa yang kini berada dalam
pengasuhan mantan suaminya, telah dilengkapi orang-orang sewaan yang akan
melindungi keamanannya bila terjadi sesuatu.
Bila
terdapat gelagat yang tidak baik dari mantan suami Ibu Dewi, orang-orang sewaan
itu akan bekerja lebih cepat dan tanggap. Tentu mereka bekerja dengan
perjanjian yang diinginkan oleh Ibu Dewi.
“Kalau
begini aku dapat tidur pulas Candra. Sungguh kalian ini adalah sahabat yang
telah diutus Tuhan untuk saya.” Kata Ibu Dewi sambil meneteskan air mata dan
mengharu biru.
“Senang
sekali Bu, kami dapat menolong Anda. Bukankah hidup ini memang ditakdirkan
untuk saling tolong menolong?” Jawab Candra.
“Candra,
aku kagum padamu. Engkau masih muda, tetapi hatimu begitu lembut. Saya pun
dapat merasakan kelembutan itu. Beruntung sekali Bob Arno mendapat sahabat
seperti Anda.”
“Tidak
berlebihan Ibu Dewi. Saya justru belajar dari rendah hatinya Pak Bob. Ia tidak
hanya membangun istana untuk dirinya sendiri, melainkan juga istana orang-orang
lain yang ada di sekitarnya. Mereka amat senang bekerja dengan Pak Bob.
Termasuk juga saya.”
“Maaf
Candra, apa kau juga naksir padanya?” Tanya Ibu Dewi yang mulai menanyakan
hal-hal yang spesifik.
“Ah
tidak Bu. Saat ini saya telah memiliki suami yang baik. Saya tidak mungkin
berpaling darinya meskipun Pak Bob begitu baik kepada saya.” Jawab Candra.
“Lah
saya tahunya Anda dengan Pak Bob telah memiliki hubungan khusus?” Ibu Dewi
memang tidak seharusnya bertanya-tanya seperti ini. Tetapi entah mengapa ia
ingin mengetahui lebih dalam tentang hubungan mereka karena mungkin Ibu Dewi
telah memiliki perasaan kepada Bob Arno meskipun hanya sedikit.
“Sama
sekali tidak Bu. Hanya rekan kerja biasa.”
Mendengar
jawaban seperti itu, bukan semakin puas Ibu Dewi mendengarnya. Bahkan ia ingin
menyakinkan diri bahwa Candra tidak mencintai Bob Arno sama sekali.
“Apa
Pak Arno tahu bahwa Anda telah bersuami?”
“Sebenarnya
saya ingin memberitahu sebelumnya. Namun saya takut akan merusak iklim
persahabatan yang telah firma bangun. Saya hanya ingin bekerja secara
professional.”
“Kan
seharusnya Pak Arno mengetahui hal ini agar ia tidak salah faham. Saya kok
yakin Pak Arno memiliki perasaan lebih terhadap Anda.”
Ditanya
seperti ini oleh Ibu Dewi, Candra semakin risih dan seolah merasa mangkel telah
bertemu dengan orang yang sedang ia tolong malah kepo. Menanyakan hal-hal yang
tidak penting baginya dan membuat perasaan menjadi tidak enak.
“Maaf
Bu Dewi, sudah sebaiknya kita tidak membicarakan hal ini. Kita fokus saja pada
kasus yang sedang kita tangani. Takutnya malah menjadi tidak fokus sehingga
tidak mencapai tujuan. Tentu itu bukan juga menjadi masalah firma bila saya
tetap bekerja secara professional dan Pak Bob telah dewasa menilai apa yang
terjadi.”
Candra
mulai menyadari sebuah kelemahan dari Bob Arno. Banyak sisi yang mesti dikagumi
dari sosok Bob Arno. Ia cerdas, terpelajar, baik hati, cuma sayangnya ia
terlalu terbuka dalam urusan percintaan. Sedemikian ia bersikap lugu tanpa
memperhatikan keberlangsungan kinerja team dan apa tujuan Bu Dewi ketika harus
bertanya-tanya hal itu?
Setelah
itu keadaan menjadi dingin diantara keduanya. Ibu Dewi pun sadar bahwa ia telah
menyentuh hal-hal yang sensitif. Lalu ia meminta maaf kepada Candra. Meskipun
ia telah meminta maaf, Candra menjadi agak menjaga jarak pembicaraan kepadanya.
Candra
sedikit menghindar. Tetapi Ibu Dewi terus mendekati. Malah sore ini selepas
menghadiri persidangan dengan agenda pembacaan gugatan, Ibu Dewi menumpang
mobil pada Candra dengan tujuan kantor pengacara Bob dengan alasan mobilnya
harus diperiksa di bengkel karena agak goyang ban belakangnya.
Dengan
tangan terbuka Candra menuruti kemauannya. Namun dengan hati sedikit tertutup
ia tidak ingin membicarakan masalah pribadinya kepada Ibu Dewi.
Benar
saja ketika mereka berdua turun dari SUV Candra, Bob Arno telah menanti
keduanya di serambi halaman depan rumahnya. Senang sekali rupanya ia bertemu
Candra. Hampir seharian ia tidak ditemani Candra, rasanya ada hari yang hilang.
Lebih
bahagia lagi ketika ia melihat Ibu Dewi yang ternyata ikut bersama Candra.
Hatinya sedikit bertanya. Namun Ibu Dewi menjelaskan kedatangannya bahwa ia
ingin bercerita keadaan pengadilan tadi pagi.
Entah
kebetulan atau tidak, hari ini Bob Arno membuatkan pisang goreng kremes. Pisang
goreng kremesnya masih hangat. Tinggal ia tambahkan 2 cangkir kopi lagi,
jadilah sore itu semakin nikmat. Apalagi dengan dua wanita yang sekarang sedang
bertahta di hatinya.
Sebagai
wanita yang sedang agak tidak suka dengan sikap Dewi dan ia terlanjur kesal,
Candra menolak untuk mengopi bersama. Ia memberikan alasan kalau hari sudah
semakin sore dan takut macet Jakarta.
Dewi
memahami betul kondisi hati Candra. Ia tidak terlalu banyak komentar dan tanya.
Ia masih berniat mengopi bersama dengan Bob Arno sampai sopir menjemputnya.
Bob
Arno tidak merasakan sesuatu yang telah terjadi pada Candra dan Dewi. Ia
merasakan Candra yang kelelahan memang seperti itu. Tetapi sungguh ia masih
rindu pada Candra.
“Can,
sebenarnya aku beratloh kamu pulang. Hari ini kan kita gak sama-sama. Baru
sebentar ketemu aku kok malah pulang.” Manjanya yang secara tidak sadar ia
lakukan di hadapan Dewi yang sudah tahu bahwa Candra telah memiliki suami.
Bob
tersadar, ini bukan sikap yang baik yang harus ditunjukkan kepada kliennya. Bob
membiarkan Candra pulang. Lalu ia mengambil hpnya dan mengirin sms padanya. “TT
DJ y Can J” Pesannya pada sms yang
dikirimkan pada Candra. Candra hanya tersenyum dan berkata “Gak perlu saya balas.
Terima kasih sudah mengingatkan.”
Dewi
yang mencurigai percakapan mereka tersenyum dan tertawa. Ia hanya yakin yang
dibicarakan bukan dirinya. Tetapi tingkah kekanak-kanakan yang sering muncul
ketika seseorang sedang jatuh cinta.
“Aduh
pisang kremesnya menggoda kepingin dimakan. Boleh saya coba Pak Arno?”
“Eh
silahkan, ayo dicoba. Maaf saya sampai lupa. Biasa kalau becanda dengan anak
buah bisa sampai lupa keadaan. Beginilah saya.”
Sementara
SUV Candra tetap melaju meninggalkan keduanya. Di dalam SUV Candra pun berpikir
untuk menjodohkan keduanya dan mengatakan bahwa ia telah memiliki suami. Tetapi
kapan? Bagaimana? Perasaan takut mengecewakan Bob Arno ia biarkan merajalela di
kepalanya. Ia pernah mengetahui dari Marsella bahwa Bob tidak memiliki keluarga
yang utuh. Ia ditinggal oleh isterinya dengan sebab yang tidak jelas.
Candra
ingin sekali berkata jujur, namun timmingnya belum tepat bila dikatakan saat
ini. Bagaimana dengan tesis? Apakah masih minat ia pada tesisnya? Atau ia
memang tidak memerlukan tesis tetapi ia kan terus bekerja pada firma. Namun
bagaimana kiranya bila Bob tidak suka padanya dan melemparkannya begitu saja?
Tidak,
tesis harus dikerjakan dengan obyek yang lain. Ia dapat mencari data tentang
apapun yang dapat mendukung penelitian tesisnya. Bahkan ia dapat meminta Darwis
untuk melakukan hal itu. Darwis pasti bersedia membatunya.
Tiba-tiba
ia teringat Darwis yang suka sekali dengan steake. Lalu ia menghentikan SUVnya
di depan Resto Steake. Ia memesan steake 2 buah untuk dibungkus dan dibawa
pulang.
Ia
begitu merindukan suaminya. Ia mencoba menghubungi suaminya melalui ponsel.
“Iya
sayang, aku sedang berada di warung steake langgananmu. Aku belikan untukmu.”
Kata Candra.
Tetapi
apa yang ia lihat? Benarkah itu Darwis? Ya itu Darwis. Ia pun sedang memesan
steake untuk dibawa pulang.
“Sayang,
inikah yang disebut kebetulan?”
Langganan:
Postingan (Atom)